Anomali Iklim Capai Titik Kritis, Indonesia Dalam Bahaya

Cuaca Panas di Musim Hujan
(Sumber: Tribunnews)


Kenaikan suhu global kini menyentuh ambang batas bahaya. Indonesia mencatat anomali suhu tertinggi dalam sejarah, memicu kekacauan cuaca yang berdampak luas bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat.


Tahun 2024 menjadi catatan merah dalam sejarah iklim Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa anomali suhu permukaan Indonesia mencapai 1,55°C dibandingkan rata-rata klimatologis 1981–2010. Angka ini tak hanya memecahkan rekor, tetapi juga melampaui batas atas 1,5°C yang menjadi patokan penting dalam Perjanjian Paris untuk menjaga kestabilan iklim global.


“Kenaikan suhu yang kami catat ini merupakan sinyal keras bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, tapi sudah terjadi sekarang,” ungkap Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam konferensi pers resmi pada Mei 2024. (Sumber: bmkg.go.id)


Kenaikan suhu ini membawa dampak nyata dalam bentuk cuaca ekstrem yang makin sering terjadi di berbagai wilayah. Di sepanjang awal 2024, Indonesia telah mengalami kekeringan berkepanjangan di sebagian Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Namun ironi terjadi ketika musim hujan justru diwarnai banjir besar, tanah longsor, dan badai lokal tak terduga.


Perubahan pola cuaca ini bukan fenomena biasa. Fenomena El NiƱo yang berkepanjangan turut memperparah kondisi atmosfer, namun faktor utama tetap mengarah pada akumulasi gas rumah kaca di atmosfer—khususnya karbon dioksida (CO₂) yang meningkat akibat deforestasi, pembakaran bahan bakar fosil, dan degradasi lingkungan.


Sementara itu, data Global Carbon Project mencatat bahwa konsentrasi karbon dioksida global telah mencapai lebih dari 420 ppm pada awal 2024—angka tertinggi dalam sejarah manusia. Ini artinya, efek rumah kaca yang menahan panas di atmosfer terus menguat dan mempercepat laju pemanasan global.


Bagi Indonesia, dampaknya terasa sangat luas. Di sektor pertanian, para petani menghadapi ketidakpastian musim tanam. Di sektor pariwisata alam dan petualangan, banyak jalur pendakian dan kawasan konservasi terganggu oleh cuaca yang tak menentu dan kerentanan bencana. Aktivitas ekowisata menjadi semakin sulit diprediksi, bahkan bisa membahayakan.


Dalam pernyataan resmi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa pemerintah berkomitmen menekan laju emisi melalui strategi Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target penurunan emisi sebesar 31,89% secara mandiri pada 2030. Namun, tantangan di lapangan tidaklah mudah.


“Langkah mitigasi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak bisa hanya bergantung pada satu sektor. Penguatan komitmen, pemanfaatan energi baru dan terbarukan, serta edukasi publik sangat krusial,” tegas Laksmi Dhewanthi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK. (Sumber: situs resmi KLHK, 2024)


Sayangnya, kesadaran publik masih menjadi titik lemah. Di banyak wilayah, deforestasi ilegal, penggunaan bahan bakar fosil berlebihan, dan minimnya transisi energi ramah lingkungan masih terjadi. Padahal, waktu terus berjalan. Setiap tahun yang berlalu tanpa tindakan tegas berarti memperbesar risiko krisis yang tak terkendali.


Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai panjang dan biodiversitas tinggi adalah salah satu wilayah paling rentan terhadap dampak iklim. Naiknya permukaan air laut, kerusakan terumbu karang, hingga ancaman kepunahan satwa endemik hanyalah sebagian kecil dari ancaman nyata yang kini mengintai.


Perubahan iklim bukan sekadar narasi ilmiah, melainkan realita yang kita hadapi saat ini. Dengan suhu yang telah melewati batas aman, Indonesia harus bergerak cepat. Mitigasi dan adaptasi bukan pilihan, melainkan keharusan. Karena jika alam sudah tak lagi bersahabat, maka tak ada tempat yang benar-benar aman.


Postingan populer dari blog ini

Surabaya Darurat Polusi: Industri dan Kendaraan Jadi Pemicu

Perubahan Iklim: Darurat Global yang Tak Bisa Lagi Diabaikan

Kit Darurat Iklim: 10 Barang Wajib Hadapi Alam yang Tak Terduga