Sampah Plastik dan Iklim: Ancaman Ganda untuk Lingkungan Laut

Gambar: Peringatan Darurat Laut Dipenuhi Sampah 
(Sumber: Readera.ID)


Sampah plastik bukan sekadar pencemar visual di laut. Di balik wujudnya yang tampak sepele, produksi dan limbah plastik menyimpan ancaman besar terhadap iklim, dengan kontribusi signifikan terhadap emisi karbon global yang terus meningkat.


Plastik sudah menjadi bagian dari hidup manusia modern. Ringan, murah, dan serbaguna itulah keunggulan yang membuat plastik digunakan hampir di semua sektor, dari industri makanan hingga teknologi. Namun di balik kenyamanan itu, tersembunyi ancaman serius bagi bumi. Plastik tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga memperburuk krisis iklim dunia.


Menurut laporan Greenpeace International tahun 2022, proses produksi plastik global menghasilkan lebih dari 850 juta ton emisi gas rumah kaca setiap tahun. Jumlah ini setara dengan emisi dari sekitar 189 pembangkit listrik tenaga batu bara. Angka tersebut menunjukkan bahwa plastik bukan hanya masalah sampah, tapi juga persoalan iklim yang genting.


Mengapa Plastik Berkontribusi pada Krisis Iklim?

Proses pembuatan plastik dimulai dari bahan baku fosil seperti minyak bumi dan gas alam. Pengambilan, pemurnian, dan pengolahan bahan baku ini membutuhkan energi dalam jumlah besar, yang sebagian besar masih bersumber dari bahan bakar fosil.


Berikut tahapan yang menyumbang emisi karbon:

  • Ekstraksi bahan baku: Penggalian dan pengeboran minyak bumi.
  • Pemurnian: Proses kimia untuk menghasilkan monomer plastik.
  • Produksi: Penggabungan senyawa untuk membentuk polimer seperti PET dan HDPE.
  • Transportasi dan distribusi.
  • Pembakaran atau peluruhan limbah plastik.


“Dampak emisi dari industri plastik dimulai dari proses hulu—ekstraksi dan pemurnian bahan baku—hingga ke hilir, termasuk pembakaran limbah plastik,” kata Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan tertulis.


Kondisi di Indonesia: Sampah Plastik Menumpuk

Indonesia adalah salah satu negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLHK, jumlah timbulan sampah plastik di Indonesia pada tahun 2023 mencapai lebih dari 5,4 juta ton.


Dari angka tersebut:

  • Hanya sekitar 10% yang berhasil didaur ulang.
  • Sebagian besar berakhir di TPA, dibakar, atau mencemari sungai dan lautan.
  • Limbah plastik laut berasal dari aktivitas domestik, industri, dan sektor pariwisata.

Sampah plastik tidak hanya menumpuk di daratan, tetapi juga hanyut ke laut dan mengancam ekosistem. Dalam skala global, menurut United Nations Environment Programme (UNEP), sebanyak 11 juta ton plastik memasuki lautan setiap tahunnya, dan angka ini dapat meningkat tiga kali lipat pada 2040 jika tidak ada tindakan nyata.


Laut: Korban dan Harapan yang Terancam

Laut memiliki peran penting dalam menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer. Sekitar 25% emisi karbon global diserap oleh laut, sebagian besar melalui aktivitas organisme seperti fitoplankton dan ekosistem laut sehat, termasuk terumbu karang dan hutan mangrove.


Namun, plastik yang mencemari laut telah mengganggu fungsi vital ini. Akibatnya:


  • Fitoplankton kesulitan berfotosintesis karena permukaan laut tertutup plastik.
  • Biota laut menelan mikroplastik, mengganggu rantai makanan.
  • Terumbu karang tercekik plastik, kehilangan kemampuan menyerap karbon.


Krisis iklim dan pencemaran plastik bukan dua isu terpisah—mereka saling terkait dan memperparah satu sama lain.


Upaya dan Tantangan Pemerintah

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi 70% sampah plastik di laut pada 2025. Namun, menurut laporan KLHK 2023, capaian hingga saat ini baru menyentuh sekitar 35%, dengan tantangan terbesar terletak pada:


  • Minimnya infrastruktur daur ulang.
  • Kurangnya edukasi publik.
  • Keterbatasan regulasi yang mengikat produsen.

Beberapa daerah seperti Jakarta, Banjarmasin, dan Surabaya telah mulai melarang kantong plastik di pusat perbelanjaan. Meski demikian, pelaksanaan dan pengawasan masih belum merata di seluruh wilayah.


Solusi yang Bisa Diambil

Untuk menanggulangi ancaman ganda plastik dan iklim, diperlukan langkah-langkah sistemik:

1. Pengurangan dari hulu: Batasi produksi plastik sekali pakai dan dorong penggunaan bahan alternatif.

2. Peningkatan daur ulang: Bangun fasilitas pemilahan dan pengolahan limbah plastik yang modern.

3. Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR): Wajibkan produsen bertanggung jawab terhadap limbah produknya.

4. Inovasi: Dukung pengembangan kemasan ramah lingkungan berbasis singkong, rumput laut, atau kertas.

5. Peran masyarakat: Kampanye "bawa sendiri", memilah sampah, dan mengurangi konsumsi plastik pribadi.


Ancaman plastik tidak hanya mencemari lingkungan laut, tetapi juga memperparah krisis iklim melalui jejak karbonnya yang tinggi. Menanggulangi permasalahan ini butuh komitmen bersama, dari pemerintah, industri, hingga masyarakat.


Mengurangi penggunaan plastik bukan lagi sekadar gerakan ramah lingkungan—tapi juga langkah penting dalam menyelamatkan bumi dari krisis iklim yang semakin nyata. Laut dan iklim adalah satu kesatuan yang saling bergantung. Menjaga satu berarti menyelamatkan yang lain.

Postingan populer dari blog ini

Surabaya Darurat Polusi: Industri dan Kendaraan Jadi Pemicu

Perubahan Iklim: Darurat Global yang Tak Bisa Lagi Diabaikan

Kit Darurat Iklim: 10 Barang Wajib Hadapi Alam yang Tak Terduga