Perubahan Iklim Ancam Pangan dan Kesehatan di Sulsel
![]() |
| Gambar: Petani di Sulsel Merana (Sumber: identitas Unhas) |
Perubahan iklim kini bukan sekadar peringatan ilmiah. Di Sulawesi Selatan, dampaknya mulai terasa nyata: gagal panen menghantam sektor pertanian, sementara wabah penyakit meningkat seiring cuaca ekstrem yang makin tak menentu.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, keseimbangan ekosistem ini terganggu oleh perubahan iklim yang semakin intens. Fenomena cuaca ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, dan suhu udara yang makin panas telah menjadi tantangan baru bagi sektor pertanian dan kesehatan masyarakat.
Di berbagai daerah, terutama kawasan timur Indonesia seperti Sulawesi Selatan, perubahan pola musim menimbulkan konsekuensi serius. Daerah ini selama bertahun-tahun menjadi lumbung pangan utama, namun kini mulai menghadapi ancaman gagal panen akibat kekeringan dan hujan yang tidak sesuai siklus tanam. Kondisi ini tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat desa.
Sementara itu, sektor kesehatan menghadapi risiko baru. Perubahan iklim menyebabkan lonjakan kasus penyakit tropis seperti demam berdarah dengue (DBD), diare, dan bahkan malaria. Suhu yang lebih tinggi dan kelembapan yang meningkat mempercepat siklus hidup vektor penyakit seperti nyamuk, membuat penyebarannya lebih luas dan tidak terprediksi.
Pemerintah pun harus bergerak cepat untuk mengantisipasi dampak jangka panjang. Adaptasi iklim kini menjadi kunci utama dalam strategi pembangunan berkelanjutan, dan diperlukan kolaborasi lintas sektor agar masyarakat tidak menjadi korban utama dari krisis iklim yang terus berlangsung.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Masyarakat
Perubahan iklim yang melanda Sulawesi Selatan pada awal tahun 2025 menyebabkan penurunan hasil pertanian secara signifikan. Kabupaten Bone, Soppeng, dan Wajo mengalami keterlambatan musim tanam akibat hujan yang baru turun menjelang akhir Maret. Ini mengganggu siklus tanam yang selama bertahun-tahun diandalkan oleh petani.
Laporan Dinas Pertanian Sulsel menyebutkan sekitar 5.000 hektare sawah mengalami penurunan produksi selama kuartal pertama 2025. Tak hanya gagal panen, kualitas hasil pertanian juga menurun karena tanaman tidak berkembang optimal akibat kondisi cuaca yang ekstrem. Selain padi, komoditas lain seperti jagung dan cabai juga mengalami kerusakan akibat kekeringan di awal dan curah hujan tinggi menjelang panen.
Dampaknya terasa langsung di pasar. Harga bahan pangan pokok mengalami kenaikan rata-rata 10–15% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa krisis iklim tak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada konsumen di perkotaan.
Kasus Nyata Kesehatan: Penyakit yang Meningkat
Perubahan iklim juga berkontribusi pada peningkatan penyakit berbasis lingkungan. Dinas Kesehatan Kota Palopo mencatat setidaknya 58 kasus DBD hingga April 2025. Sementara itu, Kabupaten Gowa mencatat kenaikan kasus diare sebesar 23% dibandingkan tahun lalu. Data ini menunjukkan bahwa cuaca ekstrem telah memperburuk kondisi sanitasi dan mempercepat penyebaran penyakit.
Menurut laporan resmi WHO Indonesia (April 2025), perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan risiko penyakit tropis di Indonesia hingga 20%. Peningkatan suhu dan kelembapan mempercepat siklus hidup nyamuk Aedes aegypti, sehingga memperbesar kemungkinan penularan DBD.
Solusi dan Peran Pemerintah
Menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin besar, pemerintah pusat dan daerah telah menerapkan beberapa langkah konkret untuk mengurangi kerugian dan memitigasi dampak yang lebih buruk. Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain:
Bantuan untuk Petani
- Kementerian Pertanian menyediakan benih tahan kekeringan dan pupuk mikroba tanah untuk membantu petani yang terdampak kekeringan.
- Pembangunan infrastruktur irigasi dan embung air di daerah rawan kekeringan untuk memastikan ketersediaan air yang cukup selama musim kemarau.
Program Sekolah Lapang Iklim (SLI)
- Menyediakan pelatihan bagi petani untuk memahami prakiraan cuaca yang lebih akurat dan memanfaatkan informasi cuaca untuk mengatur waktu tanam dengan tepat.
- Membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim agar dapat meminimalkan kerugian akibat cuaca ekstrem.
Peningkatan Edukasi Masyarakat
- Pemerintah melalui GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk mencegah penyebaran penyakit.
- Sosialisasi mengenai 3M Plus (Menguras, Menutup, Mengubur + penggunaan larvasida) untuk mengendalikan populasi nyamuk penyebab DBD.
Fogging dan Pengendalian Penyakit
- Fogging (pengasapan) dilakukan secara rutin di kawasan dengan kasus DBD tinggi untuk mengurangi populasi nyamuk.
- Menyebarkan larvasida untuk mengendalikan penyebaran nyamuk dan penyakit tropis lainnya yang berkembang di air tergenang.
Kolaborasi Antar Sektor
- Pemerintah daerah bekerja sama dengan pihak swasta dan komunitas lokal untuk menciptakan ketahanan iklim yang lebih baik melalui program-program berbasis masyarakat.
- Membangun sinergi antara Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan untuk saling mendukung dalam mengatasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian dan kesehatan.
Perubahan iklim adalah tantangan nyata bagi Sulawesi Selatan. Dampaknya meluas dari ladang pertanian hingga kamar rumah sakit. Langkah adaptasi pemerintah menunjukkan keseriusan dalam mengatasi krisis ini, tetapi partisipasi masyarakat tetap menjadi penentu utama keberhasilannya. Ke depan, membangun ketahanan iklim bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga edukasi dan kerja sama lintas sektor yang konsisten dan menyeluruh.
