Jayawijaya Tanpa Salju: Menjelajah Puncak yang Kian Panas

Gambar 1: Salju Gunung Jayawijaya
(Sumber: Papua - iNews)


Langit Papua biru membentang, tapi puncaknya tak lagi putih. Gunung Jayawijaya yang dulu bersalju, kini menyisakan kerikil dan kesunyian. Pendakian terasa lebih panas, menyisakan tanya: ke mana salju abadi pergi?


Menelusuri Jejak yang Mencair

Gunung Jayawijaya, yang menjulang megah di Pegunungan Sudirman, Papua, selama puluhan ribu tahun dikenal sebagai satu-satunya titik tropis di Indonesia yang menyimpan salju abadi. Tapi kini, pendaki tak lagi menjejakkan kaki di atas hamparan es. Yang mereka dapati hanyalah batuan cadas dan sisa-sisa gletser yang menyusut drastis.


Menurut data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), lapisan es di Puncak Jaya telah mengalami penurunan luas hingga 85% sejak tahun 1980-an. Dari yang semula seluas sekitar 20 km², kini hanya tersisa kurang dari 0,5 km². Para ilmuwan memprediksi bahwa salju abadi di Pegunungan Jayawijaya akan sepenuhnya mencair sebelum tahun 2030 jika laju pemanasan global terus berlangsung seperti sekarang.


"Perubahan ini sangat nyata. Dulu, setiap awal tahun, kami menyiapkan perlengkapan ekstra untuk salju. Sekarang? Hanya topi dan sunblock,” ujar Daniel Wakerkwa, seorang pemandu lokal yang telah mendaki Jayawijaya sejak 1990-an.


Gambar 2: Perubahan Puncak Jayawijaya
(Sumber: Berita Pedoman)


Lanskap yang Berubah, Tradisi yang Tergerus

Perubahan lanskap ini bukan hanya soal visual semata. Bagi masyarakat lokal dan pemandu pendakian, salju di Jayawijaya adalah identitas. Daniel menambahkan, "Kami dulu percaya salju itu anugerah dari langit. Kini anak-anak muda di desa saya bahkan belum pernah melihat salju dengan mata kepala mereka sendiri."


Dampak ini juga terasa pada aktivitas wisata petualangan. Banyak pendaki yang dahulu mengejar sensasi mendaki gunung bersalju di daerah tropis kini kecewa karena kehilangan daya tarik utama. Padahal, Pegunungan Jayawijaya terutama Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) dulu masuk dalam daftar impian para pendaki dunia karena keunikan ini.


Ekspedisi Panas di Tanah Dingin

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pendaki mencatat suhu yang lebih hangat di sepanjang jalur pendakian. Suhu yang biasanya berkisar 0–5 derajat Celsius di dekat puncak kini dapat mencapai 10 derajat atau lebih di musim panas ekstrem.


Kelompok ekspedisi internasional yang melakukan pemetaan ulang kawasan gletser Jayawijaya pada 2023 juga mencatat bahwa ketebalan es menurun drastis hanya dalam waktu 5 tahun terakhir. Dalam laporan dari NASA Earth Observatory, gletser Carstensz telah menyusut lebih dari 4 meter dalam ketebalan sejak 2016.


Pendaki asal Bandung, Rini Larasati, yang naik bersama timnya tahun lalu mengatakan, "Kami tahu saljunya menyusut, tapi melihat langsung sisa-sisanya yang seperti 'kuburan es' itu menyedihkan. Kami merasa mendaki sejarah yang sedang hilang."


Sinyal Keras dari Alam

Hilangnya salju di Jayawijaya menjadi simbol kuat tentang perubahan iklim yang kian nyata. Dalam laporan World Glacier Monitoring Service, salju tropis di seluruh dunia, termasuk di Afrika dan Papua, berada dalam kondisi kritis karena suhu global meningkat dan curah hujan makin tak menentu.


Indonesia, sebagai negara tropis yang jarang dikaitkan dengan salju, kehilangan "permata putih"-nya yang langka. Ini tak hanya kerugian ekowisata, tetapi juga alarm keras bagi kebijakan lingkungan dan keberlanjutan.


Harapan di Tengah Ketidakpastian

Meski salju tak lagi memutihkan puncak, pendakian ke Jayawijaya masih menyimpan keindahan dan tantangan. Rute bebatuan yang curam, kabut tebal, dan kisah masyarakat lokal menjadi warna tersendiri. Tapi tetap saja, banyak yang merasa kehilangan.


“Kami ingin generasi berikutnya tahu bahwa dulu, tanah ini bersalju. Kami dokumentasikan semua dalam foto, cerita, dan doa,” kata Daniel, sambil menunjukkan album lusuh penuh gambar puncak bersalju.


Kini, Jayawijaya berdiri sebagai saksi bisu tentang betapa cepatnya bumi berubah. Tanpa salju, ia masih megah, tapi kehilangan sebagian jiwanya.

Postingan populer dari blog ini

Surabaya Darurat Polusi: Industri dan Kendaraan Jadi Pemicu

Perubahan Iklim: Darurat Global yang Tak Bisa Lagi Diabaikan

Kit Darurat Iklim: 10 Barang Wajib Hadapi Alam yang Tak Terduga