Bumi Panas, Laut Terkikis: Jejak Plastik yang Menghantui

Gambar 1: Sampah Dilautan
(Sumber: Tribunnews.com)


Plastik bukan lagi sekadar masalah sampah. Ia kini menjadi ancaman nyata bagi iklim dan lautan. Diproduksi dari energi fosil, plastik membawa jejak emisi sejak awal hingga menjadi limbah yang sulit diurai.


Plastik adalah simbol kenyamanan modern. Ringan, kuat, dan murah. Tapi di balik kemudahannya, plastik menyimpan dampak lingkungan yang jauh lebih besar dari yang dibayangkan banyak orang. Tak hanya mencemari lautan, plastik juga memperparah krisis iklim global.


Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), dunia memproduksi lebih dari 400 juta ton plastik setiap tahun, dan lebih dari 99% plastik berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam. Artinya, sejak awal proses produksi, plastik sudah menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar.


Center for International Environmental Law (CIEL) mencatat bahwa pada 2019, plastik menyumbang lebih dari 850 juta ton emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Jika tren ini tak berubah, emisi dari plastik bisa mencapai 2,8 miliar ton per tahun pada 2050 kontribusi yang tak bisa dianggap kecil dalam memperburuk pemanasan global.


Setelah dipakai, banyak plastik berakhir menjadi sampah yang sulit terurai. UNEP memperkirakan 11 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun. Sampah ini tidak hanya mengganggu keindahan laut, tapi juga mengancam kehidupan biota. Penyu, ikan, dan burung laut sering kali memakan plastik, yang bisa berakibat fatal. Bahkan mikroplastik kini sudah ditemukan dalam tubuh manusia, dari air minum hingga darah.


Gambar 2: Sampah Plastik Timbulkan Dampak Besar Kepada Bumi
(Sumber: Aliansi Zero Waste Indonesia)


Meski ancaman terasa besar, berbagai upaya lokal mulai menunjukkan harapan. Di Surabaya, warga bisa menukar botol plastik dengan tiket bus sebuah sistem yang mendidik sambil memberi manfaat langsung. Di Bali, gerakan “Bye Bye Plastic Bags” berhasil mendorong pelarangan kantong plastik di pasar dan toko sejak 2019.


Di sisi inovasi, muncul berbagai usaha kecil yang mengolah plastik menjadi barang baru. Beberapa startup juga mengembangkan bioplastik dari bahan alami seperti rumput laut dan pati singkong yang lebih mudah terurai dan ramah lingkungan.


Tapi tentu semua ini butuh kesadaran kolektif. Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, membawa tas belanja sendiri, hingga mulai memilah sampah di rumah adalah langkah sederhana yang bisa dilakukan siapa pun. Kampanye dan edukasi lingkungan pun terus digalakkan, karena perubahan besar selalu dimulai dari pengetahuan.


Plastik memang praktis, tapi bumi punya batas. Jika kita terus membiarkan plastik mencemari udara dan laut, maka dampaknya tak hanya terasa di lingkungan tapi juga pada kualitas hidup generasi mendatang.

Postingan populer dari blog ini

Surabaya Darurat Polusi: Industri dan Kendaraan Jadi Pemicu

Perubahan Iklim: Darurat Global yang Tak Bisa Lagi Diabaikan

Kit Darurat Iklim: 10 Barang Wajib Hadapi Alam yang Tak Terduga